Welcome To My Blog

Budaya Robok-robok Mempawah

Perahu bermuatan pangeran ratu melaju tenang diatas permukaan air Sungai Mempawah. Perahu lancang kuning yang tersohor itu bertolak dari Keraton Amantubillah. Setibanya di muara, seorang punggawa keraton mengumandangkan azan. Selepas itu, putra mahkota dan punggawanya membuang sesajain ke laut sebagai talak bala. Begitulah inti kegiatan robok-robok yang berlangsung di Kuala Mempawah. Sejak pagi, masyarakat berbondong-bondong memadati lapangan di tepi Sungai Mempawah, sekitar 200 meter dari muara. Menjelang siang pengunjung yang datang semakin membludak. Bukan cuma warga Kuala Mempawah, tapi juga hanyak yang datang dari berbagai kampung di Kabupaten Pontianak. Bahkan tak sedikit warga Kota Pontianak yang sengaja datang dengan menempuh perjalanan darat sekitar 2 jam.



Sejumlah pasangan muda-mudi datang menggunakan sepeda motor. Beberapa keluarga menggunakan mobil pribadi. Ada juga beberapa rombongan yang datang menggunakan mobil bak terbuka dan truk. Alhasil, sekitar 200 meter dari mulut jalan menuju lokasi terjadi kemacetan. Terlebih di sepanjang jalan menuju lapangan terdapat kios-kios para pedagang yang menjajakan berbagai produk, seperti pakaian, makanan, minuman, aksesoris, vcd, dan sebagainya.

Kendati hari itu cuaca begitu panas, matahari bersinar terik, namun tak mengendurkan niat orang untuk datang. Tujuan mereka satu, ingin menyaksikan robok-robok sekaligus berbelanja dan menikmati hiburan gratis. Beberapa turis asing pun nampak di antara ratusan pengunjung lokal.

Di lapangan, sejumlah tamu sudah menempati kursi-kursi beratap tenda besar yang menghadap sungai. Pengunjung yang tidak kedapatan kursi berdiri di bibir sungai. Tak lama kemudian perahu kuning yang membawa rombongan Pangeran Ratu dari Istana Amantubillah, DR Ir. Martian Adijaya Kesuma Ibrahim, MSc melaju di atas permukaan air Sungai Mempawah, sekitar 20 meter dari tempat para tamu duduk. Ketika memasuki Muara Mempawah, Pangeran Ratu dijemput oleh putra mahkota dan sejumlah punggawa keraton dengan menaiki perahu lancang kuning.

Di Muara Mempawah, seorang punggawa keraton mengumandangkan azan dari atas perahu. Selepas itu, putra mahkota melakukan ritual buang-buang sesaji ke laut sebagai talak bala. Selanjutnya, Pangeran Ratu dan permaisuri mendatangi para undangan, sedangkan putra mahkota kembali ke keraton.

Usai pembacaan doa penutup, para raja, ratu dan undangan dijamu oleh Pangeran Ratu makan siang di Istana Amantubillah. Prosesi makan siang ini menggunakan tradisi saprahan atau makan bersama khas masyarakat yang tinggal di pesisir. "Dahulu ketika Opu datang di Memawah belum ada rumah. Mereka kemudian duduk dan makan bersama di tepi sungai beratap langit. Tradisi ini kemudian dilakukan masyarakat Mempawah secara turun temurun," tandas Pangeran Ratu Mardan. Usai bersantap, beberapa undangan melakukan ziarah ke makam Ompu Daeng Manambon.


Makna perayaan tradisi robok-robok menurut Pangeran Ratu Mardan sebagai napak tilas kedatangan Opu Daeng Manambon. "Ketika itu para pengikut Opu Daeng Manambon, terdiri atas berbagai etnis dan agama," katanya. Dengan begitu robok-robok diyakini sarat dengan pesan persatuan dari semua etnis dan agama yang ada di Kalbar. Pesan itu merupakan warisan yang ditinggalkan Opu Daeng Manambon ketika mendirikan Kota Mempawah.


"Mereka berkumpul pada hari Rabu akhir bulan Safar. Bersama-sama mereka membangun Mempawah. Tadi ada makna harmonis antar etnis dan agama dibalik perayaan robok-robok ini," jelas Pangeran Ratu Mardan.

Bukti lain dari adanya keharmonisan itu, lanjut Mardan, bisa dilihat di kompleks pemakaman Opu Daeng Manambon. Di makam tersebut juga terdapt makam Panglima Hitam orang Dayak, Patih Humantir dan Damarwulan orang Jawa, Lo Tai Pak orang Tionghoa, dan beberapa makam etnis lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung

Powered By Blogger